Desa Penimbun, Desa Yang Melarang Menjual Nasi
Pada umumnya, orang ke warung dan makan di tempat akan memesan nasi, sayur, dan lauk. Nasi pastinya menjadi salah satu menu yang dipesan oleh pembeli. Terutama orang Indonesia yang belum bisa dibilang makan jika tidak ada nasi. Namun, ternyata ada warung-warung yang tidak menjual nasi karena alasan yang unik. Warung yang ada di Desa Penimbun, Kebumen, Jawa Tengah, ini tidak memperbolehkan menjual nasi.
Masyarakat yang menjadi penduduk setempat percaya, siapapun yang melanggar larangan tersebut, diyakini akan terjadi bencana di Desa Penimbun. Larangan ini diyakini sudah ada sejak zaman nenek moyang mereka. Bahkan, pernah terjadi sebuah peristiwa yang dianggap tidak wajar oleh para warga di sana dan masih berkaitan erat dengan pantangan tersebut.
Informasi yang didapat dari perangkat desa setempat, pernah ada seorang nekat untuk menjual nasi. Hal itu tentu telah melanggar larangan yang ada, dan kemudian tidak lama setelah hal itu terjadi ia meninggal dunia. Walau mungkin memang karena sudah takdirnya, tapi peristiwa ini terjadi pas sekali setelah ia melanggar pantangan tersebut. Sejak kejadian itu, tidak ada satu pun warga yang berani melanggarnya lagi.
Walau para warga tidak boleh menjual nasi, akan tetapi mereka bisa menjual makanan pengganti nasi. Walau bahan yang digunakan sama-sama berasal dari beras, tapi sebutannya berbeda. Jadi pembeli tetap bisa menikmati sajian olahan nasi, misalnya saja lontong atau ketupat. Apalagi makanan ini juga sama-sama mengandung karbohidrat yang tinggi, hanya saja pengolahan dan penyajiannya saja yang berbeda.
Jika jualan lontong dan ketupat dibolehkan, warga tetap tidak boleh menjual produk olahan nasi, seperti nasi goreng, nasi rames, dan lainnya. Karena memang nama makanannya tetap sama, yakni nasi. Walau cara pengolahannya berbeda, tapi bahan dasarnya tetap dibuat dari nasi.
Konon ceritanya, dulu ada seorang musafir yang kebetulan lewat di sekitar Desa Penimbun. Berhubung merasa lapar, ia pun meminta nasi kepada warga di sana, tapi sayangnya tidak ada satu pun warga yang memberinya nasi. Karena saat itu kondisinya juga sedang susah. Sang musafir pun mengucapkan kata-kata yang dianggap sebagai kutukan, akan terjadi bencana di desa tersebut, jika ada warga yang menjual nasinya.
Sampai saat ini, warga setempat masih mempercayai cerita masa lalu tersebut dan tidak berani menjual nasi kepada pembeli. Jadi si pemilik warung nasi akan memberikan nasinya dengan cuma-cuma kepada setiap pembeli yang datang. Kemudian pembeli hanya cukup membayar lauk pauknya saja, untuk nasinya tidak perlu membayar. Namun, tentu saja harga lauk pauknya menjadi lebih mahal karena untuk menutupi biaya produksi nasi yang diberikan si penjual makanan tersebut.
Desa yang pernah viral ini ternyata tidak hanya memiliki kisah yang unik saja. Tapi asal usul nama desanya juga cukup unik. Sebenarnya nama desa ini adalah Tenimbun yang berarti tumpukan batu (timbunan). Karena banyak yang sulit mengucapkannya, maka secara perlahan nama Tenimbun penyebutannya pun berubah menjadi Penimbun.
Timbunan bebatuan yang menjadi asal usul nama desa itu, sampai saat ini masih dapat ditemui. Bahkan, tumpukan batu itu dikeramatkan oleh para warga di sana. Menurut kisahnya, dahulu kala ada seorang wali yang menyebarkan ajaran Islam di sana. Sang wali bermaksud ingin mendirikan sebuah masjid sebagai penanda bahwa desa tersebut telah berdiri.
Namun, masjid tersebut akhirnya tidak jadi dibangun. Hal itu dikarenakan masih banyak masyarakat yang melakukan kemaksiatan, seperti berjudi. Masyarakat pun cukup sulit untuk diberi nasehat. Maka dari itu, sang wali pun meninggalkan Desa Penimbun dan melanjutkan perjalanannya ke Demak dan kemudian dia mendirikan sebuah masjid di Demak.