Dalam sejarah Romawi, gladiator merupakan salah satu contoh tentang bagaimana sadisnya atraksi hiburan masyarakat Romawi. Terbilang sadis lantaran tidak jarang peserta gladiator tewas di arena akibat diserang oleh gladiator lain atau hewan buas yang menjadi lawannya. Namun, ternyata gladiator tidak hanya dilakukan oleh kaum lelaki, tetapi juga oleh kaum wanita yang disebut Gladiatrix. Berikut ini merupakan fakta-fakta menarik tentang gladiatrix di masa Romawi Kuno.

Gladiator pria, umumnya bertarung dengan bertelanjang dada. Jadi, saat kaum wanita turut ikut serta dalam gladiator, mereka juga menerima perlakuan serupa. Yang berarti mereka juga harus bertarung sambil bertelanjang dada. Sementara untuk bawahannya, gladiator wanita menggunakan kain yang akan tersingkap dengan mudah saat dirinya sedang bertarung.

Gladiator wanita juga dilengkapi dengan senjata dan perlengkapan pelindung. Pada bagian betisnya, ia akan mengenakan lapisan pelindung. Lalu pada salah satu tangannya, gladiator wanita akan memegang sebuah tameng. Selain untuk menahan serangan dari lawan, tameng juga dapat digunakan untuk memukul dan mendesak mundur lawan. Gladiator wanita juga menggunakan helm untuk melindungi bagian kepalanya.

Senjata yang lazimnya digunakan oleh gladiator wanita saat bertarung yaitu pedang. Ketika seorang gladiator wanita berhasil mengalahkan lawannya, ia akan melepas helmnya supaya penonton yang memenuhi Colosseum atau arena pertarungan bisa melihat sendiri seperti apakah rupa dari sang pemenang.

Pada awalnya tujuan wanita ikut dipertandingkan dalam pertarungan gladiator bukanlah untuk menyajikan pertarungan yang penuh darah, tetapi semata-mata untuk memberikan tontonan jenaka dan bersifat erotis kepada penonton yang umumnya adalah kaum lelaki.

Gladiator wanita pada awalnya hanya dipertandingkan untuk melawan orang berpostur kerdil agar penonton tertawa. Namun, seiring berjalannya waktu gladiator wanita mulai diadu untuk bertarung melawan gladiator wanita lainnya.

Peserta gladiator tidak hanya berasal dari golongan budak dan tahanan. Banyak kaum pria bebas dari golongan menengah ke atas yang sengaja menjadi peserta gladiator supaya ia mendapatkan hadiah bernilai tinggi. Pemenang turnamen gladiator juga akan mendapatkan popularitas tinggi dalam waktu yang singkat.

Dengan alasan serupa, kaum wanita yang berasal dari golongan bebas mulai ikut serta dalam turnamen gladiator atas keinginan mereka sendiri. Harapannya, begitu ia berhasil memenangkan hadiah dari turnamen gladiator, ia bisa hidup mandiri dan tidak perlu lagi hidup di bawah kekangan suami, ayah, atau pengasuhnya.

Aulus Cornelius Celsus yang merupakan seorang pakar kesehatan Romawi Kuno, pernah menulis tentang gladiator wanita. Dalam tulisannya, Celsus mencela keberadaan gladiator wanita sambil memperingatkan kaum lelaki akan bahaya dari gladiator wanita yang tidak mau lagi diatur oleh suaminya.

Tulisan Celsus tersebut sekaligus menunjukkan kalau gladiator wanita merupakan bentuk perlawanan kaum wanita terhadap struktur sosial pada masa itu yang menganggap bahwa wanita harus senantiasa menurut pada pria. Celsus juga menggambarkan gladiator wanita sebagai sosok yang sama sekali tidak anggun dan bahkan menjurus cabul.

Jika seorang pria dari golongan bebas berhasil memenangkan turnamen gladiator, setelah itu ia akan melanjutkan hidupnya secara normal sebagai masyarakat biasa. Sementara jika pemenang gladiator berasal dari golongan tahanan perang, ia akan dibebaskan dan kemudian dapat kembali ke tanah airnya untuk melanjutkan hidupnya bersama dengan sanak familinya.

Namun, hal demikian tidak berlaku bagi wanita yang mengikuti gladiator. Dengan harapan dapat melanjutkan hidupnya secara normal setelah mengikuti turnamen, masyarakat umum justru akan memandang hina wanita tersebut.

Duel gladiator tidak selalu berakhir dengan meninggalnya salah seorang peserta. Di Turki, tim arkeolog berhasil menemukan plakat marmer yang memperlihatkan 2 orang gladiator wanita yang bernama Amazon dan Achillia. Namun, para arkeolog meyakini jika nama yang mereka gunakan bukanlah nama asli, melainkan nama panggung layaknya atlet gulat profesional di masa ini.

Pada tahun 200 masehi, Kaisar Septimius Severus mengumumkan jika wanita dari golongan bebas tidak diperbolehkan lagi untuk mengikuti gladiator. Severus mengeluarkan larangan tersebut setelah ia melihat Olimpiade di Yunani. Severus lantas merasa khawatir bahwa jika praktek gladiator wanita dibiarkan tetap berjalan, Romawi mungkin bakal dilanda krisis kependudukan karena kaum wanitanya banyak yang menjadi atlet profesional dan menolak untuk menikah.

Larangan tersebut ternyata berdampak terlalu jauh. Saat Olimpiade kembali digelar di masa modern, kaum wanita sempat dilarang untuk mengikuti Olimpiade. Hingga akhirnya pada tahun 1900 di Paris, atlet wanita akhirnya diperbolehkan kembali untuk turut ikut serta dalam Olimpiade.