Fakta Unik Dan Aneh Kehidupan Romawi Kuno
Hanya sedikit masyarakat kuno yang memiliki pengaruh besar di dunia modern seperti masyarakat Romawi kuno. Jejak budaya, agama, dan hukum mereka masih dapat dirasakan di masyarakat saat ini.
Namun ini tidak berarti bahwa semua yang dilakukan orang Romawi masuk akal. Berikut fakta unik dan aneh yang mengejutkan tentang kehidupan orang-orang Romawi kuno, dan untungnya hal-hal tersebut tidak lagi terjadi saat ini.
DILARANG MEMAKAI WARNA UNGU
Sudah menjadi rahasia umum pada saat ini bahwa seperti banyak masyarakat, orang-orang Romawi terobsesi dengan kelas. Apa yang tidak disadari banyak orang, yaitu betapa terobsesinya orang Romawi pada kelas hingga ada larangan terkait warna.
Mayoritas orang Romawi bebas dilarang memakai warna ungu. Dalam masyarakat Romawi, warna ungu diasosiasikan dengan kemuliaan, kekuasaan, dan royalti. Dengan demikian, pemakaian warna ungu hanya diperuntukkan bagi Kaisar dan orang-orang Romawi berpangkat tinggi lainnya.
Bangsa Romawi senang bisa membedakan kelas seseorang hanya dengan melihat mereka. Larangan warna ungu adalah contoh utama hukum tempat perlindungan Romawi. Ini adalah undang-undang yang melarang orang Romawi kelas bawah memamerkan kekayaan apa pun yang mungkin mereka miliki. Dalam sistem kelas Romawi, kita tetap di tempat kita dan hanya kelas atas yang dapat memamerkan kekayaan mereka.
HUKUMAN TERTINGGI ROMAWI
Bangsa Romawi memiliki banyak cara inventif untuk membunuh penjahat dan tahanan. Mereka bisa dipenggal, dilempar dari ketinggian, atau dipaksa ikut serta dalam permainan dan tontonan gladiator.
Bentuk eksekusi terburuk disimpan bagi mereka yang melakukan kejahatan pamungkas, yaitu pembunuhan terhadap ayahnya. Siapa pun yang dinyatakan bersalah atas pembunuhan terhadap ayah mereka pertama-tama ditutup matanya, karena fakta bahwa mereka dianggap tidak lagi layak berada dalam terang. Mereka kemudian digiring ke luar kota dan langsung ke perairan besar terdekat.
Setibanya di sana, mereka dipukuli dengan tongkat sampai satu inci dari hidup mereka. Mereka kemudian diikat dan dilemparkan ke dalam karung kulit yang besar bersama dengan seekor ular, anjing, kera, dan ayam jantan. Karung itu kemudian dibuang ke air di mana mereka tenggelam, atau terbunuh oleh hewan-hewan yang meronta-ronta.
SEORANG AYAH DAPAT MENJUAL PUTRANYA UNTUK DIJADIKAN BUDAK
Bukan rahasia lagi bahwa orang-orang Romawi menggunakan sistem perbudakan. Budak di Roma tidak memiliki hak, bahkan hidup sengsara. Sebagian besar warga negara Romawi bebas dari bahaya perbudakan, kecuali mereka melanggar hukum.
Namun, ada satu pengecualian yang aneh. Para ayah Romawi dapat menjual atau menyewakan anak laki-laki mereka sebagai budak, namun itu hanya sementara.
Ayah dan calon pembeli, akan mencapai kesepakatan mengenai harga dan durasi perbudakan putranya. Saat waktunya habis, pembeli diharapkan membawa putranya kembali dalam kondisi yang sama sewaktu dia menerimanya. Seperti kebanyakan hal dalam masyarakat Romawi, sang ayah hanya bisa melakukan ini secukupnya. Dia bisa menjual anak yang sama dua kali, dan semuanya baik-baik saja.
Namun demikian, jika dia menjual putranya untuk ketiga kalinya, dia dianggap sebagai ayah yang tidak layak. Setiap anak laki-laki yang dijual oleh ayahnya tiga kali dibebaskan secara hukum dari orang tuanya yang serakah, namun setelah dia menyelesaikan tugas ketiganya sebagai budak.
Aturan 3 penjualan ini berlaku untuk setiap anak. Itu berarti bahwa jika seorang ayah ingin terus menghasilkan uang dari anak-anaknya, yang perlu dia lakukan hanya terus menghasilkan lebih banyak anak.
SEORANG AYAH DIIZINKAN MEMBUNUH KELUARGANYA
Romawi kuno selalu merupakan masyarakat patriarkal. Namun, pada masa-masa awal orang-orang Romawi benar-benar menganggapnya ekstrem.
Di Romawi awal, seorang ayah dapat menganggap anggota keluarganya sebagai aset miliknya. Dia bisa melakukan apa yang dia inginkan dengan mereka, dan menjelaskan mengapa dia dapat menjual putranya sebagai budak.
Terserah sang ayah untuk memilih bagaimana dia menghukum anak-anaknya. Jika dia merasa bahwa anak-anaknya pantas mati, maka dia dapat membunuh anak-anaknya tanpa akibat hukum. Bahkan, meninggalkan rumah tidak berarti anak-anaknya aman.
Setelah dinikahkan dan meninggalkan rumah, seorang anak perempuan masih dapat dibunuh oleh ayahnya. Anak laki-laki juga tidak pernah aman, mereka akan enar-benar mandiri setelah dijual tiga kali atau setelah ayah mereka meninggal.
Akhirnya, aturan ini dilonggarkan. Pada abad pertama Sebelum Masehi, sebagian besar hak seorang pria untuk membunuh keluarganya dihapuskan. Namun, jika seorang anak laki-laki dihukum karena kejahatan misalnya mencoreng nama keluarga, seorang ayah masih diperbolehkan untuk membunuhnya.