Dalam banyak kisah, putri kerajaan selalu digambarkan sebagai sosok yang memiliki hidup sempurna. Memiliki penampilan rupawan, hidup berkecukupan, serta pasangan pangeran tampan yang siap menjadi pendamping hidupnya. Walau mengalami konflik, setidaknya kisah mereka selalu berakhir bahagia. Namun, apa yang terjadi di dalam dongeng tidak selalu sama dengan kenyataan yang ada. Bukannya bahagia, beberapa tuan putri berikut ini justru memiliki kisah hidup yang menyedihkan.

Berikut beberapa putri kerajaan dengan kisah hidup yang menyedihkan.

ALEXANDRA FEODOROVNA

Dikenal sebagai tsarina terakhir Kekaisaran Rusia, Alexandra Feodorovna merupakan putri Kerajaan Jerman yang menikah dengan Pangeran dari Kekaisaran Rusia, Nicholas Romanov. Walau pernikahan pasangan ini begitu bahagia, kehidupan mereka begitu sulit.

Pertama, keduanya harus menerima kenyataan bahwa satu-satunya pewaris takhta mereka, Pangeran Alexei, menderita hemofilia. Alexandra yang putus asa dengan jalur medis, akhirnya berpaling ke pengobatan mistis yang ditawarkan oleh Grigori Rasputin. Di saat yang sama, pecahnya Perang Dunia I membuat Nicholas Romanov harus maju ke garis depan untuk melawan Jerman.

Sementara Nicholas Romanov kelabakan melawan Jerman, Alexandra yang berdarah Jerman juga harus menghadapi kebencian rakyat Rusia. Hal itu diperparah dengan kedekatan Alexandra dan Rasputin yang dianggap masyarakat luas sebagai penipu. Akhirnya setelah sejumlah kerusuhan dan pemberontakan di dalam negeri, Kekaisaran Rusia berhasil digulingkan. Alexandra, Nicholas Romanov, serta anak-anak mereka dijadikan tahanan rumah dan dieksekusi di ruang bawah tanah pada 17 Juli 1918.

LADY JANE GREY

Lady Jane Grey merupakan pemegang takhta terpendek dalam sejarah Kerajaan Inggris. Sang ratu hanya sempat memerintah selama 9 hari sebelum akhirnya digulingkan. Ternyata, Lady Jane Grey sebenarnya tidak termasuk dalam daftar pewaris takhta, dan memang tidak pernah menginginkannya. Namun Raja Edward yang merupakan sepupu jauhnya, memilih Lady Jane Grey yang sama-sama beragama Kristen Protestan sebagai penggantinya. Keputusan ini jelas membuat Mary I yang berada di posisi kedua sebagai pewaris takhta murka.

Mary lalu menyiapkan pasukan dan menggulingkan Lady Jane hanya 9 hari setelah dia berkuasa. Mary I kemudian mengurung Lady Jane, suami, serta ayahnya di Menara London. Kemudian ayahnya dibebaskan, tapi Lady Jane dan suaminya didakwa melakukan pengkhianatan kepada kerajaan serta dijatuhi hukuman mati.

Sayangnya, ayah Lady Jane yang bebas justru membuat situasi jadi runyam. Tidak terima putrinya digulingkan, ia berpartisipasi dalam pemberontakan Sir Thomas Wyatt pada Februari 1554. Pemberontakan itu gagal dan sebagai ganjarannya, Mary I menjatuhkan hukuman mati pada ayah Lady Jane pada 23 Februari 1554. Namun untuk membuatnya lebih menderita, sang ratu baru tersebut memenggal Lady Jane terlebih dahulu pada 12 Februari 1554.

MARIE ANTOINETTE

Bagi raja dan ratu Eropa di masa lalu, kekuasaan adalah segalanya. Mereka rela melakukan apa pun untuk kerajaannya, termasuk menikahkan putri mereka yang baru berusia belasan tahun. Salah satu yang mengalami hal ini adalah sosok putri populer, Marie Antoinette. Marie Antoinette baru berusia 14 tahun saat Austria dan Prancis mengakhiri perang selama 7 tahun. Demi memperkuat hubungan kedua kerajaan, Francis I dan Maria Theresa dari Habsburg, menawarkan putrinya yang masih ABG itu untuk menikah dengan pewaris takhta Kerajaan Prancis, Dauphin Louis-Auguste, yang kemudian dikenal dengan nama Raja Louis XVI.

Pernikahan itu awalnya berjalan lancar, namun keadaan berubah menjadi horor setelah Louis XVI naik takhta. Ketidakmampuan suaminya dalam memerintah, saudara raja yang haus kekuasaan, krisis ekonomi, hingga perang antara Prancis dan Austria pada April 1792 membuat Marie Antoinette jadi sasaran kebencian rakyat Prancis. Setelah penyerbuan Istana Tuileries pada 10 Agustus 1792, Marie Antoinette dipenjara atas berbagai tuduhan palsu. Mulai dari pengkhianatan terhadap kerajaan, hingga hubungan inses dengan putranya sendiri. Marie Antoinette diadili pada 14 Oktober 1793, dan dihukum pancung di depan rakyatnya sendiri 2 hari kemudian.

MARY TUDOR 

Mary Tudor atau yang lebih dikenal dengan Mary I mungkin bukan ratu yang baik dalam sejarah Kerajaan Inggris. Namun, kehidupannya selama jadi putri juga tidak bisa dibilang menyenangkan. Mary merupakan anak dari Raja Henry VIII dan istri pertamanya, Catherine dari Aragon. Pada tahun 1520, sang ayah yang terobsesi ingin memiliki anak laki-laki menceraikan ibunya dan mencoret Mary dari garis takhta. Dia juga dipisahkan dari sang ibu dan terpaksa tinggal jauh dari istana.

Saat Henry VIII meninggal dunia pada 1547, Mary I memang mendapatkan kembali gelar bangsawannya. Namun bukannya menjadi pewaris takhta, Mary harus puas berada di posisi kedua setelah adik tirinya, Edward. Tidak sampai di situ, perbedaan keyakinan antara Edward yang beragama Protestan dan Mary yang Katolik juga membuat hubungan keduanya jadi tegang. Puncaknya, Edward justru memilih Lady Jane yang tidak ada di garis takhta, sebagai penerusnya.

Tidak terima dengan keputusan tersebut, Mary mengumpulkan pasukan dan menggulingkan Lady Jane. Setelah resmi menjadi Ratu Inggris, Mary I kemudian memenggal Lady Jane, memenjarakan adik tirinya yang bernama Elizabeth, serta membakar 300 orang penganut Kristen Protestan yang tidak mau pindah keyakinan.

YI DEOKHYE 

Yi Deokhye merupakan putri dari raja terakhir Korea, Kaisar Gojong. Sayangnya, saat Deokhye lahir di tahun 1912, Kerajaan Korea sudah berada di bawah genggaman Jepang. Pada tahun 1919, ayah Deokhye meninggal secara misterius. Sepeninggal ayahnya, putri kecil malang ini diasingkan ke Jepang oleh penjajah. Sedih serta rasa kesepian karena jauh dari keluarga lambat-laun, mulai mempengaruhi kondisi mental sang putri. Setelah serangkaian tes kesehatan, sang putri muda ternyata menderita skizofrenia.

Namun, penyakit ini nyatanya tidak membuat Jepang bersikap lunak. Bukannya memulangkan sang putri ke Korea, mereka justru menikahkannya dengan bangsawan Jepang berpangkat rendah untuk mempermalukannya. Pernikahan itu tidak berlangsung lama. Kekalahan Jepang di Perang Dunia II membuat suami Deokhye kehabisan uang, dan tidak mampu membiayai pengobatan istrinya yang mahal. Pada tahun 1953, keduanya resmi bercerai.

Kekalahan Jepang, seharusnya membuat Deokhye dapat pulang ke Korea dengan mudah. Namun, Korea Selatan yang kini menjadi negara republik menganggap Deokhye sebagai ancaman dan tidak mau menerimanya. Setelah bertahun-tahun berusaha, Korea Selatan akhirnya mengizinkan sang putri pulang. Sayangnya, perubahan drastis Korea Selatan membuat Deokhye tetap merasa terasing hingga akhir hayatnya di tahun 1989.